RESTITUSI PPN dan PPn-BM

RESTITUSI ATAU PENGEMBALIAN

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) dan PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG MEWAH (PPn-BM)

—————————————————————-

DASAR HUKUM

  1. Undang-undang PPN Nomor 42 Tahun 2009
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan PPN/PPnBM

PKP HANYA DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN (RESTITUSI) PADA AKHIR TAHUN BUKU

  1. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan Pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
  2. PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan Pajak (restitusi) pada akhir tahun buku. Bagi PKP Orang Pribadi yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, pengertian tahun buku adalah tahun kalender.

PKP YANG DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN (RESTITUSI) PADA SETIAP MASA PAJAK

  1. PKP yang melakukan ekspor BKP Berwujud;
  2. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP kepada Pemungut PPN
  3. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang PPN-nya tidak dipungut;
  4. PKP yang melakukan ekspor BKP Tidak Berwujud;
  5. PKP yang melakukan ekspor JKP; dan/atau
  6. PKP dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang PPN. (Isi Pasal 9 ayat (2a) UU PPN : Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan)

CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN (RESTIRUSI)

  1. PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan Pajak dengan menggunakan :
    1. SPT Masa PPN, dengan cara mengisi (memberi tanda silang) pada kolom “Dikembalikan (restitusi)”; atau
    2. Surat permohonan tersendiri, apabila kolom “Dikembalikan (restitusi)” dalam SPT Masa PPN tidak diisi atau tidak mencantumkan tanda permohonan pengembalian kelebihan Pajak.
  2. Permohonan pengembalian kelebihan Pajak diajukan kepada KPP di tempat PKP dikukuhkan.
  3. Permohonan pengembalian kelebihan Pajak ditentukan 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Masa Pajak.

PENELITIAN DAN SURAT KEPUTUSAN PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK (SKPPKP)

  1. Penelitian dilakukan terhadappermohonan pengembalian kelebihan Pajak yang diajukan oleh:
    1. PKP kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C UU KUP;
      • Pasal 17C UU KUP berisi tentang WP dengan Kriteria tertentu (WP Patuh).
    2. PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D UU KUP; atau
      • Pasal 17 D UU KUP berisi tentang WP yang memenuhi persyaratan tertentu.
    3. PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN. Penelitian oleh DJP dilakukan terhadap:
      • kebenaran pemenuhan ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang-Undang PPN;
      • kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya;
      • kebenaran penulisan dan penghitungan pajak; dan
      • kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak.
  2. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan Pajak yang diajukan oleh PKP, harus menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lama 1 bulan sejak saat diterimanya permohonan pengembalian kelebihan Pajak.
  3. Apabila jangka waktu 1 bulan tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan SKPPKP, permohonan pengembalian kelebihan Pajak yang diajukan dianggap dikabulkan dan SKPPKP harus diterbitkan paling lama 7 hari setelah jangka waktu 1 bulan tersebut berakhir.

TIDAK DITERBITKANNYA SKPPKP TERHADAP PKP BERESIKO RENDAH

  1. Terhadap PKP beresiko rendah, SKPPKP tidak diterbitkan apabila :
    1. hasil penelitian menyatakan Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang- Undang PPN;
    2. hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar;
    3. lampiran Surat Pemberitahuan tidak lengkap; dan/atau
    4. pembayaran Pajak tidak benar.
  2. Dalam hal SKPPKP tidak diterbitkan, terhadap PKP beresiko rendah tersebut harus diberikan pemberitahuan secara tertulis dengan menggunakan formulir lampiran PMK-72/PMK.03/2010 dan permohonan pengembalian kelebihan Pajak; dari PKP ini akan diproses berdasarkan ketentuan Pasal 17B UU KUP.

PEMERIKSAAN DAN SKP

  1. Pemeriksaan dilakukan terhadap permohonan pengembalian kelebihan Pajak yang diajukan oleh PKP selain:
    1. PKP Kriteria tertentu (Pasal 17 C UU KUP),
    2. PKP yang memenuhi persyaratan tertentu (Pasal 17 D UU KUP),
    3. PKP Resiko rendah (Pasal 9 ayat 4C UU PPN).
  2. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan Pajak harus menerbitkan SKP paling lama 12 bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan Pajak diterima. Jangka waktu 12 bulan ini tidak berlaku dalam hal terhadap PKP sedang dilakukanpemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.
  3. Apabila setelah melampaui jangka waktu 12 bulan tersebut Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPLB harus diterbitkan paling lama 1 bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.;

PEMERIKSAAN TERHADAP PKP PASAL 17 C UU KUP, PASAL 17D UU KUP, PKP RESIKO RENDAH

  1. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan Pajak dapat melakukan pemeriksaan kepada PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN, PKP kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C UU KUP, atau PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D UU KUP
  2. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan; diterbitkan SKPKB, PKP kriteria tertentu atau PKP yang memenuhi persyaratan tertentu wajib membayar jumlah kekurangan Pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pembayaran Pajak
  3. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan SKPKB, PKP berisiko rendah wajib membayar jumlah kekurangan Pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan, paling lama 24 bulan, dari jumlah kekurangan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) UU KUP.

Hemat Oli dan BBM

Semua orang tahu bahwa “Semua Orang ingin memperoleh Keuntungan yang lebih dari aktivitas usaha yang dijalankannya“.  Setiap aktivitas usaha mempunyai biaya yang berhubungan dengan aktivitas usaha tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam penerapannya dalam laporan Laba Rugi, biaya langsung dimasukkan dalam Harga Pokok Penjualan dan biaya tidak langsung dimasukkan dalam biaya operasional atau biaya umum dan administrasi. Besarnya Keuntungan atau Kerugian usaha tergantung dari besarnya biaya-biaya tersebut bisa terserap secara maksimal dalam aktivitas usaha.  Tentu semakin tinggi biaya akan semakin mengurangi Laba yang diperoleh.

Bagian penting dari aktivitas usaha yaitu penggunaan Oli dan BBM.  Hampir-hampir dapat dipastikan untuk melakukan rekayasa pengurangan biaya Oli dan BBM karena berhubungan langsung dengan aktivitas Produksi.  Salah satu cara -biasanya- untuk melakukan efesinsi yaitu dengan memaksimalkan output dari mesin-mesin produksi yang digunakan, termasuk peralatan berat dan mobil yang digunakan.

Semakin lama usia mesin atau kendaraan umumnya akan semakin boros dalam penggunaan Oli dan BBM; dan semakin tinggi biaya pemeliharannya. Tentu saja,  Rajin dengan melakukan perawatan (service) berkala akan mengurangi resiko terjadinya kerusakan dan tingginya biaya yang ditimbulkan dikemudian hari, jika terjadi kerusakan.

Melakukan efesiensi dalam penggunaan Oli dan BBM sangat bijaksana dilakukan ditengah naik-turunnya harga Bahan Bakar Minyak saat ini.

STUDI KELAYAKAN USAHA (SKU)

STUDI KELAYAKAN USAHA (SKU)

Salah satu faktor untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank adalah adalah studi kelayakan usaha (fisibility study).  SKU memuat hasil study kuantitatif dan kualitas, yang hasilnya nanti akan dinilai oleh Pihak Bank,- Layak atau tidak, untuk memperoleh kredit.

Salah satu faktor yang menjadi syarat dalam memperoleh kredit bank khususnya untuk kredit usaha adalah usaha sudah berjalan minimal 2 tahun.  Jadi sudah ada data-data Cash Flow selama usaha tersebut berjalan yang akan menjadi acuan dalam menyusun SKU.

SKU disusun dengan berdasarkan data-data yang ada akan mencerminkan kemampuan- tidak hanya terbatas pada, berapa jumlah kredit yang diminta dan kemampuan angsurannya.

Penilaian layaknya untuk memperoleh fasilitas kredit sangat ditentukan oleh laporan Studi Kelayakan Usaha (SKU).

Diskusi tentang E-Nofa

Ruang ini disediakan untuk berbagi ilmu, informasi dan pengalaman mengenai E-Nofa.  Tentu saja dengan harapan saling berbagi ini dapat saling membantu dalam meningkatkan penggunaan E-Nofa dalam kehidupan bisnis.

Sebagaimana diketahui bahwa, E-Nofa sebagai aplikasi Elektronik Faktur Pajak yang saat ini sudah diujicobakan penggunaannya di beberapa daerah di Indonesia, dan akan menyusul di daerah-daerah lainnya; serta penggunaannya akan merata di seluruh KPP akan di mulai tahun depan.

Dengan pengetahuan yang lebih dini mengenai E-Nofa melalui media diskusi dapat membantu secara dini mempersiapakan diri untuk menyambut penggunaan E-Nofa.

 

Fungsi Strategis Laporan Keuangan Fiskal

Tahun 2013 telah berlalu, 2014 sebagai persiapan dalam menyusun Laporan Keuangan. 

Kita sudah mengetahui bahwa Laporan Keuangan Komersial disusun berdasarkan transaksi keuangan yang berlaku dalam lingkup kerja perusahaan.  Fungsinya untuk mengetahui kondisi perusahaan memperoleh Laba atau perusahaan dalam keadaan rugi. 

Dengan Laporan Keuangan Komersial, pengurus atau dewan pengawas dapat melihat sejauh mana kinerja perusahaan dapat mencapai hasilnya sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, perusahaan juga mempersiapkan Laporan Keuangan Fiskal untuk menjadi bahan dalam menyusun pelaporan SPT Tahunan.  Perbedaan dalam Laporan Keuangan Komersial  dan Laporan Keuangan Fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan, misalnya perbedaan pengakuan biaya, perbedaan pengakuan penghasilan, dan lain-lainnya. 

Dari sinilah pentingnya pemahaman yang mendalam dalam penyusunan Laporan Keuangan Fiskal. 

Reviuw atau telaah atas Laporan Keuangan Komersial yang valid akan memiliki peranan yang sangat strategis bagi perusahaan, bukan hanya pada persoalan perpajakan saja. 

Salah satu fungsi strategis dalam reviuw Laporan Keuangan Komersial yaitu dapat dilakukan perencanaan pembayaran pajak (Tax Planning).  Setiap transaksi akan memiliki dampak terhadap perpajakan, apapun transaksinya.   Sehingga kalau tidak dilakukan reviuw, maka belum diketahui transaksi mana termasuk dalam kategori – misalnya  :

  • dikenakan pajak
  • dibebaskan pajak
  • pajak yang ditanggung pemerintah
  • dapat ditunda
  • dapat dikompesasi
  • segera dibayar
  • tidak terutang
  • terutang
  • diakui termasuk penghasilan
  • belum termasuk penghasilan
  • dll

Revium Laporan L/R Komersial dalam penyusunan Laporan L/R Fiskal akan memberikan informasi yang sangat mendalam kepada pengusaha bahwa kewajiban perpajakan telah dilaksanakan dengan baik sesuai ketentuan yang berlaku.  Sehingga laba perusahaan yang akan dibagikan berdasarkan RUP, akan menjadi keputusan yang  menyatakan bahwa laba yang telah diakui tidak akan mendapatkan kendala di kemudian hari dalam manajemen cash flow. 

Dengan hasil rekonsiliasi yang benar dipastikan tidak ada lagi permasalahan atau tambahan pajak yang akan  dibayar akibat kekeliruan dalam penyusunan Laporan Keuangan Fiskal.  Karena Rekonsiliasi dilakukan-  terlebih dahulu reviuw data laporan keuangan komersial yang dikaitkan dengan kewajiban pajak masa PPh 21, PPN, PPh 23 dan Pasal 4  ayat (2)

Pembayaran pajak yang dilakukan saat ini, –yang sebenarnya dapat ditunda- tentu akan berpengaruh terhadap cash flow perusahaan.

CARA MENYAMPAIKAN SPT TAHUNAN

Sebagaimana biasanya setiap awal tahun; kita bersiap – siap lagi untuk melakukan persiapan pelaporan SPT TAHUNAN.  Supaya Pelaporan bisa mengikuti mekanisme yang ada,  Pelaporan SPT TAHUNAN harus selalu mengikuti petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak.  Untuk Pelaporan Pajak, SPT TAHUNAN 2012, Dirjen Pajak telah mengeluarkan  Peraturan Direktur Jenderal Pajak  Nomor PER-26/PJ/2012 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan SPT Tahunan, yang berlaku terhitung mulai tanggal 1 januari 2013. Peraturan ini mencabut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2011 (berlaku sejak 30 Desember 2011) tentang perubahan kedua Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan SPT Tahunan.

Per-26/PJ/2012 dapat dilihat secara lengkap di bawah ini  :

———————————————————————————

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER – 26/PJ/2012

TENTANG

TATA CARA PENERIMAAN DAN PENGOLAHAN
SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan dan meningkatkan kepastian hukum kepada Wajib Pajak sehubungan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pcrpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534/KMK.04/2000 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan serta Keterangan dan atau Dokumen yang Harus Dilampirkan;
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.03/2009;
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan;
  6. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-214/PJ/2001 tentang Keterangan dan/atau Dokumen Lain yang Harus Dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan;
  7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-179/PJ/2007 tentang Tempat Lain yang Dapat Digunakan untuk Menerima Surat Pemberitahuan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2009;
  8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-81/PJ./2007 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun 2007 beserta Petunjuk Pengisiannya sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2008;
  9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-47/PJ/2008 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan dan Penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan Secara Elektronik (e-Filing) Melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP);
  10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2009 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan dalam Bentuk Elektronik;
  11. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya;
  12. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2011 tentang Percepatan Perekaman Surat Pemberitahuan (SPT);
  13. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2011 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menggunakan Formulir 1770S atau 1770SS secara e-Filing melalui Website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id );
MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERIMAAN DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:

  1. Surat Pemberitahuan Tahunan yang selanjutnya disebut dengan SPT Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak yang meliputi SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi (SPT 1770, SPT 1770 S, SPT 1770 SS), SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (SPT 1771 dan SPT 1771/$), termasuk SPT Tahunan Pembetulan.
  2. SPT Tahunan Elektronik yang selanjutnya disebut dengan e-SPT Tahunan adalah data SPT Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dalam bentuk elektronik yang dibuat oleh Wajib Pajak dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
  3. SPT Tahunan Lengkap adalah SPT Tahunan yang semua elemen SPT Induk dan lampirannya telah diisi dengan lengkap, SPT Induk telah ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya, telah dilengkapi dengan lampiran khusus, keterangan dan/atau dokumen yang disyaratkan, serta, dalam hal e-SPT Tahunan, e-SPT Tahunan dapat diproses dalam Sistem Informasi Perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak.
  4. e-Filing adalah suatu cara penyampaian SPT atau penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik yang dilakukan secara on-line yang real time melalui website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id ) atau Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP).
  5. Tempat Pelayanan Terpadu yang selanjutnya disebut dengan TPT adalah tempat pelayanan perpajakan yang terintegrasi pada KPP termasuk Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) untuk memberikan pelayanan perpajakan.
  6. Pojok Pajak, Mobil Pajak atau Tempat Khusus Penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan (Drop Box) adalah tempat lain yang dapat digunakan untuk menerima SPT Tahunan/e-SPT Tahunan.
  7. Media Eletronik adalah sarana penyimpan data digital yang dapat dibaca oleh Sistem Informasi Perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak.
  8. Tanda Terima SPT adalah tanda bukti penerimaan SPT Tahunan yang diberikan petugas kepada Wajib Pajak.
  9. Pengolahan SPT adalah serangkaian kegiatan yang meliputi penelitian SPT dan perekaman SPT.
  10. Penelitian kelengkapan SPT adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian SPT Tahunan dan lampiran-lampirannya serta kelengkapan lampiran yang disyaratkan.
  11. Perekaman SPT adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memasukkan semua unsur SPT ke dalam basis data perpajakan dengan cara antara lain merekam, uploading, dan/atau memindai (scanning).
  12. Loading adalah kegiatan memindahkan data/informasi digital dari media elektronik/jaringan komunikasi data ke Sistem Informasi Perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 2
(1) Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT Tahunan dengan cara:

  1. langsung;
  2. dikirim melalui pos dengan bukti pengiriman surat ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar;
  3. dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar;
  4. e-Filing melalui website Direktorat Jenderal Pajak (vvww.pajak.go.id) atau Penyedia Jasa Aplikasi/ Application Service Provider (ASP).
(2) Penyampaian SPT Tahunan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tersebut di atas dapat dilakukan di TPT, Pojok Pajak, Mobil Pajak atau Drop Box di mana saja yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Penyampaian SPT Tahunan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus disampaikan di TPT KPP tempat Wajib Pajak terdaftar, dalam hal:

  1. SPT Tahunan lebih bayar;
  2. SPT Tahunan pembetulan;
  3. SPT Tahunan yang disampaikan setelah batas waktu penyampaian SPT; dan/atau
  4. SPT Tahunan dalam bentuk e-SPT;
(4) Penyampaian SPT Tahunan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan tidak dalam amplop atau kemasan lainnya
(5) Penyampaian SPT Tahunan melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau huruf c dilakukan dalam amplop tertutup yang telah dilekati lembar informasi amplop SPT Tahunan yang berisi data sebagai berikut:

  1. Nama Wajib Pajak;
  2. Nomor Pokok Wajib Pajak;
  3. Tahun Pajak;
  4. Status SPT (Nihil/Kurang Bayar/Lebih Bayar);
  5. Jenis SPT (SPT Tahunan/SPT Tahunan Pembetulan Ke- …);
  6. Perubahan Data (Ada/Tidak Ada);
  7. Nomor Telepon;
  8. Pernyataan; dan
  9. Tanda Tangan Wajib Pajak.
(6) Format lembar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilekatkan pada amplop SPT Tahunan mengacu pada Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(7) Dalam hal Wajib Pajak mengalami perubahan data, Wajib Pajak harus mengisi dan melampirkan lembar perubahan data identitas Wajib Pajak.
Pasal 3

SPT Tahunan dinyatakan tidak lengkap apabila:

  1. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan nama Wajib Pajak tidak dicantumkan dalam SPT Induk dengan benar, lengkap dan jelas;
  2. SPT Induk tidak ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Kuasanya;
  3. SPT Induk ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak tetapi tidak dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus atau SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ditandatangani oleh ahli waris tetapi tidak dilampiri dengan Surat Keterangan Kematian dari Instansi yang berwenang;
  4. Terdapat elemen SPT Induk yang diisi tidak lengkap;
  5. SPT Tahunan Kurang Bayar tetapi tidak dilampiri dengan bukti pelunasan berupa SSP yang sesuai;
  6. SPT Tahunan tidak atau kurang disertai dengan lampiran pada Formulir sebagaimana ditetapkan pada Lampiran IV butir I.A, butir II.A, butir III.A dan butir IV.A pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
  7. SPT Tahunan tidak atau kurang disertai dengan Lampiran Keterangan dan/atau Dokumen yang Disyaratkan sebagaimana ditetapkan pada Lampiran IV butir I.A s.d. butir IV.A atau butir I.B s.d. butir IV.B atau butir I.C s.d. butir IV.C pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
  8. Lampiran “Daftar Harta dan Kewajiban Pada Akhir Tahun dan Daftar Susunan Anggota Keluarga” dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dilampirkan tetapi diisi tidak lengkap;
  9. Lampiran “Daftar Pemegang Saham/Pemilik Modal dan Daftar Susunan Pengurus dan Komisaris” dalam SPT Tahunan PPh Badan dilampirkan tetapi diisi tidak lengkap;
  10. Terdapat Lampiran Khusus sebagaimana ditetapkan pada Lampiran IV butir I.A s.d. butir IV.A atau butir I.B s.d. butir IV.B atau butir I.C s.d. butir IV.C pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang diisi tidak lengkap;
  11. SPT Induk hasil cetakan dari aplikasi e-SPT Tahunan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak dilampiri dengan media elektronik yang berisi data digital SPT Tahunan;
  12. e-SPT Tahunan yang data digitalnya disampaikan dengan menggunakan media elektronik, tetapi isi datanya tidak sesuai dengan SPT Induk hasil cetakan yang disampaikan oleh Wajib Pajak;
  13. e-SPT Tahunan yang data digitalnya disampaikan dengan menggunakan media elektronik tetapi tidak dapat di-load pada aplikasi Sistem Informasi Perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak;
  14. e-SPT Tahunan yang data digitalnya disampaikan dengan menggunakan media elektronik tetapi elemen-elemen datanya tidak diisi atau diisi tetapi tidak lengkap;
  15. e-SPT Tahunan yang data digitalnya disampaikan melalui e-filing tetapi elemen-elemen data digitalnya tidak diisi atau diisi tetapi tidak lengkap.
Pasal 4
(1) Dalam hal SPT Tahunan yang diterima merupakan SPT Tahunan Wajib Pajak yang terdaftar di KPP penerima SPT Tahunan tersebut dan disampaikan secara langsung, maka Petugas Penerima SPT Tahunan melakukan penelitian kelengkapan SPT.
(2) Berdasarkan penelitian kelengkapan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1):

  1. apabila SPT Tahunan lengkap maka SPT diterima dan kepada Wajib Pajak diberikan tanda terima SPT;
  2. apabila SPT Tahunan tidak lengkap maka SPT Tahunan dikembalikan kepada Wajib Pajak disertai dengan lembar penelitian SPT Tahunan.
(3) Dalam hal SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan SPT Tahunan Pembetulan, maka:

  1. penelitian kelengkapan SPT dilakukan oleh Account Representative;
  2. selain penelitian kelengkapan SPT tersebut, dilakukan penelitian syarat penyampaian SPT Tahunan Pembetulan sesuai dengan Pasal 8 ayat (1), ayat (1a) dan ayat (6) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
(4) Apabila SPT Tahunan Pembetulan sebagaimana dimaksud ayat (3) tidak lengkap dan/atau tidak memenuhi syarat penyampaian SPT Pembetulan, maka SPT dikembalikan kepada Wajib Pajak disertai dengan lembar penelitian SPT Tahunan.
(5) Dalam hal SPT Tahunan yang diterima merupakan SPT Tahunan yang disampaikan secara langsung tetapi Wajib Pajak tidak terdaftar di KPP penerima SPT Tahunan tersebut, maka Petugas Penerima SPT Tahunan memberikan tanda terima SPT tanpa melakukan penelitian kelengkapan SPT.
(6) Dalam hal SPT Tahunan yang diterima merupakan SPT Tahunan yang disampaikan melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan huruf c, tanda bukti dan tanggal pengiriman surat dianggap sebagai tanda terima dan tanggal penerimaan SPT Tahunan sepanjang SPT Tahunan tersebut telah lengkap.
(7) Dalam hal SPT Tahunan disampaikan secara langsung oleh Wajib Pajak yang tidak terdaftar di KPP tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (5), penelitian kelengkapan SPT Tahunan dan penelitian syarat penyampaian SPT Tahunan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan oleh KPP tempat Wajib Pajak terdaftar
(8) Dalam hal KPP menerima SPT Tahunan Wajib Pajak yang tidak terdaftar pada KPP tersebut, KPP wajib mengirimkan SPT Tahunan tersebut kepada KPP tempat Wajib Pajak Terdaftar dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sejak SPT Tahunan diterima.
(9) Terhadap SPT Tahunan yang disampaikan di KP2KP maka KP2KP wajib mengirimkan SPT Tahunan ke KPP atasannya dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak SPT diterima.
(10) Dalam hal KPP menerima SPT Tahunan Wajib Pajak yang tidak terdaftar pada KPP tersebut melalui KP2KP di bawahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPP wajib mengirimkan SPT Tahunan tersebut ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sejak SPT diterima dari KP2KP.
Pasal 5
(1) Apabila berdasarkan penelitian syarat penyampaian SPT Tahunan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7), SPT Tahunan Pembetulan tidak memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 8 ayat (1), ayat (1a) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, maka KPP mengirimkan Surat Pembatalan Tanda Terima SPT Tahunan kepada Wajib Pajak.
(2) Apabila berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7) SPT Tahunan dinyatakan tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, maka KPP mengirimkan Surat Permintaan Kelengkapan SPT Tahunan beserta Formulir Surat Jawaban atas Permintaan Kelengkapan SPT Tahunan kepada Wajib Pajak.
(3) Apabila diketahui bahwa isi amplop SPT Tahunan yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) huruf b dan huruf c Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini bukan merupakan SPT Tahunan, maka KPP mengirimkan Surat Pembatalan Tanda Terima SPT Tahunan kepada Wajib Pajak.
(4) Atas permintaan kelengkapan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan SPT Tahunan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya Surat Permintaan Kelengkapan SPT Tahunan.
(5) Dalam hal Surat Permintaan Kelengkapan SPT Tahunan telah dikirimkan sesuai dengan alamat Wajib Pajak namun surat tersebut tidak sampai kepada Wajib Pajak dan diterima kembali oleh KPP maka jangka waktu bagi Wajib Pajak untuk menyampaikan kelengkapan SPT Tahunan adalah paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya kembali Surat Permintaan Kelengkapan SPT Tahunan dari pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir oleh KPP.
(6) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5) Wajib Pajak tidak menyampaikan kelengkapan SPT Tahunan, maka SPT Tahunan dianggap tidak disampaikan.
(7) Terhadap SPT Tahunan yang telah dilakukan penelitian kelengkapan SPT Tahunan dan dinyatakan lengkap, dilakukan perekaman dalam rangka penerimaan SPT Tahunan.
(8) Apabila berdasarkan perekaman sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diketahui bahwa:

  1. SPT Tahunan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
  2. SPT Tahunan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak,

maka SPT Tahunan dianggap tidak disampaikan.

(9) Dalam hal SPT Tahunan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (8), KPP harus menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang menyatakan bahwa SPT Tahunan dianggap tidak disampaikan.
(10) Apabila berdasarkan perekaman sebagaimana dimaksud pada ayat (7), diketahui bahwa Wajib Pajak salah mengisi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maka KPP mengirimkan Surat Pembetulan Tanda Terima SPT Tahunan kepada Wajib Pajak.
(11) Apabila berdasarkan perekaman sebagaimana dimaksud pada ayat (7), diketahui bahwa Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan lebih dari satu kali maka KPP mengirimkan Surat Pembatalan Tanda Terima SPT Tahunan kepada Wajib Pajak.
(12) Terhadap SPT yang telah dilakukan perekaman sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilakukan perekaman isi SPT Tahunan.
Pasal 6
(1) Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan SPT Tahunan adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
(2) Tanda Terima SPT Tahunan adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
(3) Keterangan dan/atau dokumen lain yang disyaratkan sebagai kelengkapan SPT adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 7

Dengan ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2011 dinyatakan tidak berlaku.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Desember 2012
DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

————————————————————–
Mudah-mudaha artikel bisa membantu dalam hal MENYAMPAIKAN SPT TAHUNAN Pajak tahun 2012; Artikel-Artikel terkait dapat diperoleh melalui situs
dan masih banyak web atau blog lain yang sangat profesional yang bisa dijadikan rujukan dalam bidang PERPAJAKAN.  Anda bisa bertanya melalui pemilik blog atau web perpajakan tersebut.
Salam sukses, enjoy dan segera lakukan Penyusunan dan Pembuatan SPT Tahunan Anda.

RESTITUSI PPN

RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) dan PPn-BM

Restitusi (Meminta kembali) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPn-BM karena adanya lebih bayar dari pengkreditan Pajak Masukan (PM) dengan Pajak Keluaran (PM).  Hal ini juga bisa terjadi karena adanya PPN/PPn-BM yang terlanjur disetor, yang tidak seharusnya atau tidak terutang PPN, dan dibebaskan.  Wajib Pajak yang biasanya melakukan Restitusi PPN :

  • Perusahaan Jasa Konstruksi rekanan Pemerintah  : Terjadi karena adanya pemungutan PPN yang dilakukan oleh bendaharawan, dan adanya PM pada saat membeli barang
  • Perusahaan Jasa Pengadaan barang rekanan Pemerintah :  Terjadi karena adanya pemungutan PPN yang dilakukan oleh bendaharawan, dan adanya PM pada saat membeli barang
  • Perusahaan Angkutan umum atas pembelian kendaraan bermotor; misalnya pengusaha Taxi dan pengusaha jasa angkutan antar propensi, dan jasa angkutan umum antar kota.  Biasanya terjadi karena adanya PPN atau PPn-BM yang sudah terlanjur dipungut, yang seharusnya tidak pungut karena PPN atau PPn-BM dibebaskan